Rabu, 11 April 2012

Angkot Bakal Bebas Asap Rokok

Area publik, rumah ibadah, pusat pelayanan kesehatan, tempat kerja, tempat bermain anak, sekolah atau tempat belajar lainnya, serta di dalam angkutan umum (angkot) bakal bebas asap rokok.

DPRD Kota Semarang meminta perlunya pengawasan yang lebih intens di kawasan tanpa rokok (KTR) tersebut. Terkait dengan hal tersebut, kemarin di forum rapat paripurna DPRD disepakati perlu adanya peraturan daerah (Perda) tentang KTR. Sebagai tindaklanjutnya, maka dibentuk Panitia Khusus (Pansus) yang membahas tentang rancangan Perda (Raperda) KTR.

Pengawasan menjadi perhatian lantaran untuk kegiatan tersebut, selain konsistensi, dibutuhkan juga dukungan personel. Satpol PP selaku penegak Perda selama ini kerap mengalami kendala dalam melaksanakan tugasnya.Semakin banyaknya Perda dan wilayah yang harus diawasi membuat Satpol keteteran. Salah satunya dalam hal pengawasan larangan merokok di dalam angkot.

“Kru angkotnya, sopir maupun kernet itu rata-rata perokok berat. Mereka mobile dari satu tempat ke tempat lain. Itu pengawasannya bagaimana? Belum lagi penumpang yang juga perokok. Ini harus diperhatikan,” imbuhnya. Anggota Pansus Raperda KTR Ari Purbono menilai bahaya akibat merokok tidak hanya kesehatan namun juga berpengaruh gaya hidup. lingkungan. Mengacu hasil penelitian Universitas Indonesia, banyak warga miskin yang mengonsumsi rokok. Bahkan kebutuhan rokok ini berada di peringkat kedua setelah makan. “Pengeluaran terbesar pertama untuk beli beras, sementara yang kedua untuk membeli rokok, tentu ini sangat memprihatinkan,” katanya.

Menurut Ari, dengan jumlah warga miskin di Semarang yang mencapai 26% tentu sangat tepat jika Kota Semarang mempelopori adanya pembatasan bagi konsumsi rokok. Setidaknya Perda KTR bisa memberi pengaruh terhadap upaya penurunan angka kemiskinan. Sekretaris FPAN DPRD Kota Semarang Wachid Nurmiyanto mengingatkan agar Raperda KTR ini juga melihat tingginya kontribusi dana bagi hasil cukai dan tembakau atau DBHCT yang mencapai Rp15 miliar per tahun yang diterima pemkot.

Jika dibandingkan dengan PAD dari sektor galian C, yang hanya Rp100 juta per tahun, tentu penerimaan DBHCHT jauh melampaui. Fakta lain, lanjut Wachid, Jateng adalah provinsi penerima DBHCT terbesar. “Sehingga hal-hal seperti itu harus diperhitungkan secara cermat,”tandasnya.

Sumber : Seputar Indonesia , 11 April 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar