Kamis, 08 November 2012

RSUD Siap Tambah 120 Ruang Rawat Inap

SEMARANG– Untuk meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat,RSUD Kota Semarang berencana membangun 120 ruang rawat inap kelas tiga pada 2013. Anggaran untuk pembangunan tersebut sebesar Rp20 miliar.

Menurut Direktur RSUD Kota Semarang Suci Herawati, saat ini sudah ada sekitar 88 ruang kelas tiga yang tersedia di rumah sakit.Namun,jumlah itu masih kurang karena diperkirakan musim penghujan ini banyak penyakit yang ditimbulkan. “Hal itu berdampak terhadap penggunaan ruang inap kelas tiga di rumah sakit yang menjadi semakin penuh,” katanya kemarin. Rencananya, 120 ruang kelas tiga itu akan dibuat lima tingkat. Saat ini ada 232 ruang rawat inap di RSUD dengan klasifikasi 88 ruang inap kelas tiga.Sementara ruang inap kelas dua 55 ruang, kelas satu 46 ruang, ruang VIP (4), ICU (8), serta HCU perawatan bayi (6).

Rabu, 09 Mei 2012

Dewan Minta Simpanglima Dijual

Lap Simpanglima menjadi Bubur Lumpur
SEMARANG– Ketidakjelasan pengelolaan Lapangan Pancasila, Simpanglima, termasuk ketidaktransparanan biaya sewa yang didapat, membuat kalangan anggota Komisi C DPRD Kota Semarang jengah.

Mereka meminta penggunaan lapangan tersebut lebih baik dikomersilkan sekaligus agar bisa mendongkrak pendapatan asli daeraj (PAD).Terkait beberapa kali pemanfaatan lapangan Pancasila dalam kurun waktu sebulan ini,Komisi C kemarin memanggil panitia pelaksana HUT ke-465 Kota Semarang. Selain panitia, sejumlah SKPD terkait seperti Satpol PP, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Dinas Bina Marga juga ikut hadir.

Anggota Komisi C Ari Purbono mengatakan biasanya pengelolaan lapangan Pancasila disebabkan adanya dua aturan yang bertentangan. Perwal No 92/2008 menyatakan lapangan Simpanglima tidak diperkenankan untuk kegiatan berbau komersil.Namun hanya boleh kegiatan yang terkait kenegaraan atau pemerintahan dan keagamaan. Sementara di Perda No 6/2008 tentang Retribusi Penggunaan Aset Kekayaan Daerah diatur penggunaan lapangan Pancasila.

Rabu, 11 April 2012

Angkot Bakal Bebas Asap Rokok

Area publik, rumah ibadah, pusat pelayanan kesehatan, tempat kerja, tempat bermain anak, sekolah atau tempat belajar lainnya, serta di dalam angkutan umum (angkot) bakal bebas asap rokok.

DPRD Kota Semarang meminta perlunya pengawasan yang lebih intens di kawasan tanpa rokok (KTR) tersebut. Terkait dengan hal tersebut, kemarin di forum rapat paripurna DPRD disepakati perlu adanya peraturan daerah (Perda) tentang KTR. Sebagai tindaklanjutnya, maka dibentuk Panitia Khusus (Pansus) yang membahas tentang rancangan Perda (Raperda) KTR.

Pengawasan menjadi perhatian lantaran untuk kegiatan tersebut, selain konsistensi, dibutuhkan juga dukungan personel. Satpol PP selaku penegak Perda selama ini kerap mengalami kendala dalam melaksanakan tugasnya.Semakin banyaknya Perda dan wilayah yang harus diawasi membuat Satpol keteteran. Salah satunya dalam hal pengawasan larangan merokok di dalam angkot.

“Kru angkotnya, sopir maupun kernet itu rata-rata perokok berat. Mereka mobile dari satu tempat ke tempat lain. Itu pengawasannya bagaimana? Belum lagi penumpang yang juga perokok. Ini harus diperhatikan,” imbuhnya. Anggota Pansus Raperda KTR Ari Purbono menilai bahaya akibat merokok tidak hanya kesehatan namun juga berpengaruh gaya hidup. lingkungan. Mengacu hasil penelitian Universitas Indonesia, banyak warga miskin yang mengonsumsi rokok. Bahkan kebutuhan rokok ini berada di peringkat kedua setelah makan. “Pengeluaran terbesar pertama untuk beli beras, sementara yang kedua untuk membeli rokok, tentu ini sangat memprihatinkan,” katanya.

Menurut Ari, dengan jumlah warga miskin di Semarang yang mencapai 26% tentu sangat tepat jika Kota Semarang mempelopori adanya pembatasan bagi konsumsi rokok. Setidaknya Perda KTR bisa memberi pengaruh terhadap upaya penurunan angka kemiskinan. Sekretaris FPAN DPRD Kota Semarang Wachid Nurmiyanto mengingatkan agar Raperda KTR ini juga melihat tingginya kontribusi dana bagi hasil cukai dan tembakau atau DBHCT yang mencapai Rp15 miliar per tahun yang diterima pemkot.

Jika dibandingkan dengan PAD dari sektor galian C, yang hanya Rp100 juta per tahun, tentu penerimaan DBHCHT jauh melampaui. Fakta lain, lanjut Wachid, Jateng adalah provinsi penerima DBHCT terbesar. “Sehingga hal-hal seperti itu harus diperhitungkan secara cermat,”tandasnya.

Sumber : Seputar Indonesia , 11 April 2012