Rabu, 14 Maret 2012

Retribusi PKL Rawan Pungli

SEMARANG– Penarikan retribusi pedagang kaki lima (PKL) menjadi salah satu kegiatan pelayanan publik pemerintah yang rentan terjadi praktik pungutan liar (pungli).

Kurangnya pengawasan dari satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait dan pelimpahan kewenangan pengelolaan retribusi ke SKPD lain memberi celah suburnya praktik pungli. “Itu sudah menjadi rahasia umum, kalau retribusi PKL yang ditarik besarannya melebihi ketentuan. Ini karena kontrol internal SKPD sangat minim. Sehingga mereka yang di lapangan bisa memakai dalih apa pun untuk menarik retribusi yang lebih besar dari seharusnya,” kata anggota Komisi B DPRD Semarang M Kholison kemarin.

Wakil Ketua Komisi B Ari Purbono mengatakan praktik pungli di penarikan retribusi tersebut sebenarnya telah diminimalisasi dengan UU No 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Di UU itu disebutkan adanya pemberian intensif bagi petugas pemungut retribusi. Di tingkat provinsi besarnya mencapai 3% dari total retribusi yang dikumpulkan dan 5% untuk petugas pemungut retribusi tingkat kota.

Saat ini raperda sebagai pelaksanaan atas undang-undang tersebut tengah disusun. “Tapi sekali lagi,tanpa adanya kontrol yang kuat dari internal SKPD, tetap saja berpeluang terjadi pungli,”ucapnya. Di Kota Semarang, kewenangan penarikan retribusi PKL diserahkan Dinas Pasar ke kelurahan dengan alasan keterbatasan personel. Pelimpahan ini justru akan menimbulkan persoalan yang lebih kompleks.

Banyak pendirian PKL dilakukan di kawasan terlarang seperti di bahu jalan,pedestrian, hingga bantaran sungai namun tetap saja ditarik retribusi. Seperti yang terjadi di kawasan PKL Tlogosari. Tenda PKL didirikan di pinggir sungai tapi retribusi tetap dikenakan.“ Di satu sisi Pemkot belum serius melakukan penataan, di sisi lain pemangku wilayah setempat justru melakukan pembiaran, bahkan menarik retribusi,”katanya.

Penasihat Komunitas Pedagang Semarang Setara (Kompass) Slamet Riyanto menyatakan ada ketidaksinkronan di antara SKPD terkait yang mengelola PKL dan retribusi. Dalam rangka pelayanan kepada masyarakat, semestinya pemerintah tidak bicara retribusi selama penataan yang dilakukan belum dilakukan. Parahnya,aparat kelurahan mengabaikan norma tersebut dengan tetap menarik retribusi meski itu di kawasan terlarang PKL.

“Kalau sudah ditarik retribusi berarti PKL itu legal. Aturan yang ada harus dibaca secara utuh dan dikaitkan dengan aturan lainnya. Jangan hanya berdalih di tempat terlarang kemudian main gusur. Padahal, para PKL sudah ditarik retribusi,”ucapnya. Anggota Dewan Pertimbangan Pembangunan Kota (DP- 2K) Semarang Bambang Setyoko mengungkapkan kegiatan relokasi yang dikemas dalam bentuk penataan PKL akan menghadapi kendala jika PKL telah tumbuh dalam jumlah besar.

Terlebih,selama itu mereka telah dipungut retribusi. Solusinya adalah pemerintah harus menyediakan lahan pengganti untuk PKL. “Demi kepentingan yang lebih besar, seperti pencegahan banjir, relokasi memang harus dilakukan. Cara yang ditempuh juga jangan sampai merugikan pedagang,”tandasnya.

Sumber : Seputar Indonesia, 14 Maret 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar