Kamis, 09 Juni 2011

DPRD Kota Semarang

Dewan Dicap Lembaga Stempel

  • Melempem dan Kurang Kritis
BALAI KOTA - Lembaga Dewan selama ini tidak lebih dari lembaga stempel atau pengetuk palu atas kebijakan yang dibuat eksekutif. Akibatnya, membuka celah bagi praktek kompromi terhadap anggaran.

Wakil Ketua Komisi B DPRD Kota Semarang Ari Purbono tidak menampik adanya anggapan seperti itu. Terlebih Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) belum lama ini, menyebutkan fungsi pengawasan yang semestinya dijalankan anggota dewan kini telah bergeser menjadi kompromi terhadap anggaran.
Arif menilai, fungsi pengawasan dewan dalam pengelolaan keuangan daerah menjadi terkebiri oleh regulasi. ’’Kita menghargai apa yang disampaikan Fitra, karena hal itu bagian dari fungsi kontrol. Dalam UU No 32/2004 tentang Pemda makna kemitraan antara pemerintah dan legislatif menjadi bias,’’ ujar Arif, kemarin.

Hal itu mengakibatkan tiga fungsi yang dijalankan Dewan, yakni legislasi, anggaran dan pengawasan menjadi tidak maksimal. Anggota Badan Anggaran itu lantas mencontohkan temuan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dewan, lanjutnya, hanya diberi waktu satu minggu saja untuk menindaklanjuti laporan tersebut. Jauh di luar nalar, hasil kerja eksekutif selama setahun dievaluasi hanya dalam tempo satu minggu.
Karena itu, tidak mengherankan yang muncul adalah politik praktis. Lebih lanjut, seperti ketika melakukan kontrol terhadap Perda. Tidak ada sanksi tegas di saat terjadi penyimpangan. Kalau pun ada, sambungnya, itu ringan sehingga dinilai tidak efektif.

Kompromi

Kendati begitu, tidak semua anggota Dewan papar Arif, tidak kritis. Dikatakan, kontrol dewan terhadap anggaran yang dianggap melempem didasari dengan pertimbangan-pertimbangan efektivitas waktu yang tersedia relatif singkat sementara masih banyak item pekerjaan yang tidak jelas dan belum tuntas.
’’Selain itu juga tekanan regulasi. Kami menyadari masih banyak yang harus dievaluasi, seperti UU No 32/2004 sudah harus direvisi terutama berkaitan dengan pengoptimalan fungsi dewan,’’ jelasnya.

Disinggung ketimpangan prioritas usulan program yang terbiayai melalui mekanisme antara Musrenbang dan reses, dia menegaskan tidak ada.
Untuk membiayai program-program aspirasi pada saat reses, lanjutnya, Dewan punya anggaran sendiri. Yakni, melalui dana kontingensi, di mana tiap anggota dewan dialokasikan sebesar Rp 100 juta. Dana tersebut diperuntukkan bagi masyarakat dari masing-masing daerah pemilihan (dapil) mereka.

Suara Merdeka, 9 Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar