Jumat, 03 Juni 2011

WALIKOTA AKTOR UTAMA PRAKTIK KARTEL

Semarang, Walikota dituding sebagai aktor utama praktik kongkalikong pejabat-pengusaha atau praktik kartel. Dengan mendapat restu kepala daerah, maka kebijakan pemerintah yang menguntungkan pengusaha dapat terlaksana.
Dalam menciptakan kebijakan-kebijakan itu, kepala daerah dibantu oleh Sekretaris Daerah (Sekda) sebagai Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah  (BPKAD), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), dan Inspektorat.
"Merekalah yang membuat draft APBD, jadi kalau ada program-program yang ganjil, mereka yang bertanggungjawab," kata Wakil Ketua Komisi B, Ari Purbono dalam diskusi  terbatas "Riset Relasi Kepentingan Ekonomi Politik Di Tingkat Lokal" di Hotel Grasia Semarang, Kamis (3/6).
Dalam diskusi yang digelar Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Komite Penyelidikan dan Pemberantasan, Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah itu, Ari menjelaskan bahwa Walikota dkk adalah representasi unsur eksekutif dalam praktik kartel. Tahap yang rawan adalah pada saat penyusunan draft Rencana Anggaran dan Belanja Daerah (RAPBD).

Selain itu, tahapan rawan lain ialah pada saat pembahasan RAPBD oleh DPRD. Pada tahap ini, aktor baru muncul yakni para anggota dewan. Mereka berperan ketika pembahasan APBD di tingkat komisi atau badan anggaran (banggar). "Namun untuk dewan hal itu dilakukan lebih bersifat individual, tidak berjamaah," katanya.
Ariyanto Nugroho, Divisi Kebijakan Publik Pattiro Semarang menambahkan, karena praktik kartel itu, seringkali muncul program-program siluman dalam APBD. Program itu tidak berasal dari Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) namun merupakan "titipan" pengusaha demi keuntungan bisnisnya.
"Kepentingan pengusaha ini mengalahkan program yang diajukan dan dibutuhkan rakyat. Indikasinya adalah kita selalu kesulitan untuk mengakses dokumen APBD," katanya.
Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, Ibrahim Fahmi Badoh menggarisbawahi bahwa praktek kartel semakin marak dengan terjunnya pengusaha ke ranah politik menjadi kepala daerah atau anggota dewan. Motivasinya ialah untuk mengawal penganggaran dan kebijakan agar sesuai dengan kepentingan bisnisnya. "Jika dibiarkan maka negara kita akan jadi negara fasis yang dikuasai cukong-cukong bisnis," tegasnya.
Diskusi tersebut adalah bagian dari riset praktik kartel ICW di Kota Semarang. Ibukota Jateng ini diindikasikan marak praktek kartel karena merupakan kota metropolitan yang mendasarkan denyut ekonomi pada perdagangan dan jasa. Selain dihadiri aktivis anti korupsi Kota Semarang, turut hadir juga Kepala Biro kota Harian Suara Merdeka, Setiawan Hendra Kelana.

Suara Merdeka, 3 Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar